Mantan Presiden Direktur PNRI berjanji untuk membantu BPK untuk mengangkat tabir atas kasus CTP elektronik

Mantan Presiden Direktur Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) itu, Edhi Vijaya, didakwa ikut serta dalam proyek pembelian kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP). Tim hukum Isnu Edhy Wijaya menjamin akan diadakan sidang bersama untuk mengangkat tabir praktik e-KTP yang korup.
"Jadi, kami selaku penasehat hukum terdakwa II Bapak Su Edhi Vijay, percaya bahwa klien kami sudah sangat aktif bekerjasama sejak penyidikan di BPK, dimana klien kami selalu hadir di setiap panggilan penyidikan, yang selalu dilakukan di BPK," ujar tim penasehat hukum Endar Sumarsono di pengadilan antikorupsi. (Korupsi) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (23/6).
"Klien kami Pak Su siap membantu proses penegakan ini berjalan lancar berdasarkan fakta persidangan," lanjutnya.
Menurut Endar, dalam dakwaan jaksa BPK, kliennya isnu Edhi Vijaya tidak menerima atau memberikan remunerasi untuk pengerjaan proyek E-KTP. Ini seperti dalam dakwaan jaksa BPK.
"Itu sebabnya dia tidak menerima uang dan tidak memberi tip. Ini terbukti dari dakwaan jaksa, yang dibacakan di persidangan, " kata Endar.
Berita populer sekarang

Youtuber Benny dan Dzhoniar ingin mengembalikan nama baik
Endar juga menekankan bahwa kliennya di konsorsium PNRI tidak memiliki wewenang untuk mengatur atau mengganggu kegiatan anggota konsorsium. Karena setiap anggota konsorsium, menurut perjanjian, tidak dapat saling mengganggu.
"Kami juga harus mengatakan bahwa Pak Isnu mengundurkan diri pada Mei 2013. Pak Isnu tidak mengikuti proyek ini sampai selesai. Kami berharap dapat mengungkapkan diri kami sejelas mungkin dalam persidangan ini," Endar menyimpulkan.
Dalam kasusnya, mantan Direktur-Presiden Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isn Edhi Vijaya dan mantan Ketua Kelompok Teknis Teknologi Informasi Untuk Aplikasi Kartu Tanda Penduduk elektronik, yang merupakan pegawai negeri sipil BPPT, Husni Fahmi ditugaskan untuk mengatur dan mengarahkan Proses Pembelian Kartu Tanda Penduduk elektronik (E-KTP).
"Dengan melakukan atau mengambil bagian dalam tindakan yang bertentangan dengan hukum, secara langsung atau tidak langsung, terdakwa I Husna Fahmi dan terdakwa II ada Edhi Vijaya terorganisir dan diarahkan proses pengadaan barang / jasa paket karya aplikasi Kartu Identitas berdasarkan nomor identifikasi penduduk (NIK) di tingkat nasional (Kartu Identitas elektronik) Tahun Anggaran 2011- 2013, untuk memenangkan konsorsium PNRI, " kata jaksa BPK Putra Iskandar, membacakan dakwaan.
Jaksa penuntut menyatakan bahwa Husni Fahmi memperkaya dirinya sendiri sebesar 20 ribu dolar AS dalam paket pengadaan proyek E-KTP. Dugaan korupsi e-KTP disebut juga pengayaan (Perum PNRI) dan perusahaan anggota konsorsium PNRI lainnya.
Sebagai hasil dari tindakannya, Keuangan Publik dalam kasus kartu identifikasi elektronik rusak oleh 2,3 triliun Rupee. Aksi ini juga dilakukan bersama Andi Narogong, Setya Novanto, Irman, Sugiharto, Anak-Anak Anggraeni, Drajat Wisnu Setyavan, Vahyudin Bagendoy dan Johan Marli.
Ada Edhi Vijaya dan Husni Fahmy yang dijerat ayat (1) Pasal 2 Undang - undang tindak pidana korupsi yang digabungkan dengan ayat (1) - 1 Pasal 55 yang digabungkan dengan ayat (1) Pasal 64 KUHP atau pasal 3 Undang-undang tindak pidana korupsi yang digabungkan dengan ayat (1) Pasal 55 ayat 1 yang digabungkan dengan ayat 1 Pasal 64 KUHP.